Di Balik Layar: Bagaimana Algoritma Media Sosial Menjebak Pengguna Dalam Siklus Doom Scrolling Yang Merugikan

Selasa, 09 Desember 2025

    Bagikan:
Penulis: Alvin Pratama
Siklus doom scrolling diperparah oleh algoritma yang menyajikan konten serupa berdasarkan interaksi, menciptakan "ruang gema" negatif. Pengguna perlu memahami mekanisme ini untuk mengambil kembali kendali atas konsumsi informasinya. (Freepik)

Jakarta - Ketika seseorang merasa terjebak dalam arus berita buruk di media sosial, seringkali bukan semata-mata kesalahan atau pilihannya. Di balik layar, bekerja sebuah mesin yang sangat canggih dan persuasif: algoritma platform digital. Sistem ini dikonstruksi dengan tujuan utama mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin, mengubah perhatian menjadi komoditas yang berharga. Dalam konteks doom scrolling, desain ini secara tidak sengaja menciptakan lingkungan digital yang memperburuk kecemasan.

Algoritma bekerja seperti penjual konten yang selalu belajar dari perilaku pengguna. Ia menganalisis konten apa yang membuat seseorang berhenti menggulir, berlama-lama, atau memberikan reaksi. Jika seorang pengguna sering mengklik, membaca lama, atau berinteraksi dengan berita bernada negatif—entah karena rasa khawatir, ingin tahu, atau terkejut—sistem akan mencatatnya sebagai pola yang "relevan" dan "menarik". Akibatnya, platform akan semakin gencar menyuplai konten sejenis, secara perlahan membentuk feed yang didominasi oleh kekhawatiran.

Proses ini menciptakan apa yang dikenal sebagai "ruang gema" (echo chamber) atau lingkaran doom scrolling yang dipersonalisasi. Seseorang mungkin tidak menyadari bahwa alur konten yang ia lihat telah sangat berbeda dari yang dilihat orang lain, karena telah disesuaikan berdasarkan pola interaksi uniknya sendiri. Ketika berita buruk kerap memicu reaksi emosional terkuat, algoritma akan terus mengulang pola tersebut, menjebak pengguna dalam siklus di mana pencarian untuk merasa aman atau terinformasi justru berbalik menjadi sumber kecemasan baru.

Fitur desain seperti infinite scroll (gulir tak terbatas) dan notifikasi yang terus-menerus semakin memperkuat kebiasaan ini. Infinite scroll menghilangkan batas alami yang memberi tanda untuk berhenti, sementara notifikasi menciptakan interupsi konstan yang menarik pengguna kembali ke dalam siklus. Kombinasi antara dorongan psikologis alami manusia untuk memantau ancaman dengan desain teknologi yang memfasilitasinya tanpa batas inilah yang membuat doom scrolling begitu sulit dihentikan.

Menyadari mekanisme ini adalah langkah pertama menuju konsumsi digital yang lebih sehat. Pengguna perlu memahami bahwa yang mereka lihat di feed bukanlah gambaran dunia yang objektif, melainkan hasil kurasi algoritmik yang dirancang untuk keterlibatan, bukan untuk kesejahteraan. Kesadaran ini memberdayakan mereka untuk mempertanyakan dan mengatur ulang hubungan dengan platform.

Tindakan proaktif dapat dilakukan untuk "melatih ulang" algoritma. Secara berkala mengkurasi akun yang diikuti, dengan sengaja mencari dan berinteraksi dengan konten yang netral, edukatif, atau inspiratif, dapat mengirim sinyal baru kepada sistem. Beberapa platform juga menyediakan opsi untuk mereset preferensi atau mengatur jenis konten yang kurang ingin dilihat, yang dapat dimanfaatkan untuk mengimbangi bias negatif.

Tantangan etika yang besar juga berada di pundak pengembang platform. Ada seruan yang semakin kuat untuk meninjau ulang desain algoritma yang hanya mengejar metrik keterlibatan (engagement) tanpa mempertimbangkan dampak psikologisnya. Masa depan teknologi yang bertanggung jawab mungkin terletak pada algoritma yang tidak hanya pintar menangkap perhatian, tetapi juga bijak dalam menjaga kesejahteraan mental penggunanya.

Dengan demikian, memutus siklus doom scrolling tidak lagi sekadar soal tekad individu, tetapi juga tentang membangun literasi digital kritis terhadap cara kerja platform yang kita gunakan setiap hari. Ketika pengguna memahami permainan di balik layar, mereka dapat beralih dari posisi objek yang dimanipulasi algoritma menjadi subjek yang aktif mengendalikan pengalaman digitalnya sendiri.

(Alvin Pratama)

Baca Juga: BPOM Siap Dukung Program Makan Bergizi Gratis Dengan Anggaran Rp700 Miliar
Tag

    Bagikan:

Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.