Wilayah Pesisir Indramayu, Jawa Barat - Genangan air rob yang merendam permukiman di Kecamatan Kandanghaur, Indramayu, adalah satu episode dari narasi besar yang mengancam banyak wilayah pesisir Indonesia. Peristiwa ini, meski ditangani dengan respon darurat berupa bantuan dan dapur umum, harus mendorong refleksi yang lebih dalam. Refleksi tentang kerentanan kawasan pesisir terhadap intensifikasi bencana hidrometeorologi, yang kian terkait dengan pola perubahan iklim dan tekanan pada lingkungan pesisir.
Banjir rob (genangan akibat air laut) adalah fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh faktor astronomis, meteorologis, dan antropogenik. Di tengah kenaikan muka air laut secara global, wilayah pesisir dataran rendah seperti bagian dari Indramayu menjadi semakin rentan. Respon darurat seperti yang dilakukan Pemkab Indramayu—dengan menyalurkan bantuan dan mendirikan dapur umum—adalah keharusan untuk menyelamatkan jiwa dan meredam penderitaan. Namun, langkah ini bersifat kuratif, menyembuhkan gejala, bukan menyentuh akar penyebab kerentanan.
Pelibatan berbagai pihak seperti BPBD, Dinas Sosial, Tagana, dan KSB dalam operasi tanggap darurat menunjukkan adanya kesadaran kolektif untuk bertindak. Akan tetapi, kapasitas adaptasi jangka panjang membutuhkan lebih dari itu. Diperlukan perencanaan tata ruang yang ketat, perlindungan ekosistem pesisir seperti mangrove dan hutan pantai, serta pembangunan infrastruktur yang ramah iklim. Mangrove, misalnya, berfungsi sebagai pemecah gelombang alami dan penahan abrasi yang dapat meredam dampak rob.
Insiden di Kandanghaur seharusnya menjadi data penting untuk memetakan zonasi rawan rob dengan lebih akurat. Monitoring yang dilakukan tim di Desa Bulak dan Ilir tidak hanya untuk mendistribusikan bantuan hari ini, tetapi juga harus menghasilkan data untuk merancang strategi pengurangan risiko bencana (PRB) esok hari. Pembelajaran dari daerah lain yang mengalami bencana serupa, seperti banjir bandang besar di Sumatra yang dipicu kombinasi cuaca ekstrem dan kerusakan lingkungan di hulu, harus menjadi peringatan.
Ancaman yang dihadapi adalah siklus yang terus berulang. Setiap kali banjir rob datang, pemerintah dan masyarakat mengeluarkan sumber daya besar untuk tanggap darurat dan pemulihan. Tanpa intervensi pada akar masalah, siklus ini akan terus menggerus kemajuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Investasi dalam mitigasi berbasis ekosistem dan infrastruktur adaptif mungkin mahal di awal, tetapi akan lebih hemat dibandingkan biaya berulang untuk penanggulangan darurat.
Oleh karena itu, momentum penanganan darurat banjir rob di Kandanghaur ini harus dimanfaatkan untuk menggalang komitmen yang lebih luas. Komitmen tidak hanya dari Dinas Sosial dan BPBD, tetapi juga dari Dinas PU, Dinas Lingkungan Hidup, serta perencana pembangunan daerah. Pendekatan "build back better" pasca-bencana harus diwujudkan, dengan membangun rumah dan fasilitas yang lebih tahan terhadap genangan rob di masa depan.
Masyarakat pesisir seperti di Kandanghaur adalah pihak yang paling rentan, namun juga bisa menjadi agen perubahan. Pendidikan tentang risiko, pelatihan evakuasi mandiri, dan pemberdayaan ekonomi yang tidak bergantung pada sektor rentan rob adalah bagian dari strategi membangun ketahanan. Dengan demikian, selain menjadi penerima bantuan, mereka dapat bertransformasi menjadi komunitas yang tangguh menghadapi ancaman iklim.
Bencana kali ini adalah alarm yang berbunyi nyaring. Ia memanggil semua pemangku kepentingan untuk beralih dari pola pikir reaktif-menanggapi bencana, menjadi pola pikir proaktif-mengurangi risiko bencana. Masa depan wilayah pesisir bergantung pada pilihan yang diambil sekarang: terus menerus berjibaku dengan dampak atau mulai membangun benteng pertahanan yang berkelanjutan.