Jakarta - Dialog mengenai masa depan konstitusi Indonesia mulai terbuka dengan nada yang santun dan tidak terburu-buru. Ketua MPR RI Ahmad Muzani menggunakan istilah "minum teh sore" untuk menggambarkan pertemuannya dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan pada Selasa, 2 Desember 2025. Istilah ini bukan hanya kiasan, tetapi penegasan bahwa pertemuan tersebut bersifat sangat informal dan merupakan pembicaraan pendahuluan semata.
Dalam suasana "minum teh sore" itu, topik amendemen Undang-Undang Dasar 1945 sempat disinggung. Namun, Muzani dengan jelas menyatakan bahwa pembicaraan sama sekali belum masuk ke dalam substansi yang mendetail. Ia menegaskan bahwa pertemuan resmi antara institusi MPR dan Presiden akan diselenggarakan kemudian untuk membahas hal ini secara lebih komprehensif. Saat ini, waktu pertemuan resmi tersebut masih dalam proses penjadwalan.
Pertemuan informal ini memiliki makna simbolis yang penting. Ia menandai dibukanya saluran komunikasi langsung antara pimpinan lembaga tertinggi negara yang berwenang mengubah konstitusi dengan kepala pemerintahan, dalam membahas perubahan fundamental terhadap hukum dasar. Hal ini mengisyaratkan bahwa wacana amendemen, yang telah lama mengambang, mulai mendapatkan momentum politik yang nyata.
Selain amendemen, pertemuan tersebut juga diisi dengan berbagi informasi mengenai isu-isu aktual lain, seperti laporan Presiden Prabowo mengenai penanganan bencana banjir dan longsor di Sumatera. Hal ini menunjukkan bahwa pembicaraan berlangsung dalam format yang cair dan mencakup berbagai topik kenegaraan.
Latar belakang dari pembicaraan awal ini adalah usulan MPR untuk melakukan amendemen terbatas guna memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) ke dalam UUD 1945. PPHN dirancang sebagai kompas strategis pembangunan nasional jangka panjang yang melampaui periode pemerintahan tertentu. Gagasan ini telah melalui beberapa tahap kajian di internal MPR pada periode sebelumnya.
Presiden Prabowo, dalam pertemuan informal tersebut, menyampaikan pesan agar proses amendemen ini tidak dilaksanakan dengan tergesa-gesa. Pesan ini sejalan dengan semangat dari pertemuan "minum teh sore" itu sendiri: sebuah pendekatan yang tenang, hati-hati, dan penuh pertimbangan untuk sebuah perubahan yang berdampak sangat luas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, dari obrolan santai "minum teh sore", Indonesia mungkin akan memulai sebuah perjalanan besar menuju penyegaran konstitusinya. Dialog yang dimulai secara informal ini diharapkan dapat berkembang menjadi musyawarah bangsa yang luas, transparan, dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, sebagaimana prinsip yang terus dipegang oleh pimpinan MPR.