Jakarta - Krisis iklim yang melanda Indonesia mengancam untuk merampas lebih dari sekadar kesehatan dan tempat tinggal anak-anak; ia juga membahayakan masa depan pendidikan mereka. UNICEF dalam analisisnya memperingatkan bahwa guncangan iklim yang semakin sering terjadi berpotensi mengganggu sistem pendidikan secara masif, mengikis capaian pembelajaran, dan mendorong peningkatan angka putus sekolah. Ancaman terhadap pendidikan ini berisiko menciptakan kesenjangan kemampuan yang permanen dan menghasilkan 'generasi yang hilang' yang tidak siap menghadapi tantangan abad ke-21.
Ancaman langsung terlihat dari kerusakan fisik infrastruktur pendidikan. Ribuan sekolah di Indonesia berlokasi di daerah rawan bencana seperti daerah pesisir atau dekat sungai. Ketika banjir bandang atau badai menerjang, gedung sekolah dapat rusak parah, hanyut, atau terendam dalam waktu lama. Bahkan jika struktur bangunan utuh, peralatan belajar seperti buku, komputer, dan meja kursi sering kali hancur. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi memakan waktu yang lama, selama itu anak-anak kehilangan tempat belajar yang layak.
Selain kerusakan langsung, sekolah juga sering kali beralih fungsi menjadi tempat pengungsian sementara bagi korban bencana. Sementara fungsi kemanusiaan ini penting, konsekuensinya adalah proses belajar-mengajar terpaksa dihentikan untuk waktu yang tidak pasti. Anak-anak pengungsi kehilangan rutinitas belajar mereka, sementara anak-anak dari komunitas setempat yang sekolahnya dipakai mengungsi juga ikut terganggu hak pendidikannya.
Dampak tidak langsung melalui ekonomi keluarga juga sangat kuat. Bencana iklim yang menghancurkan lahan pertanian, tambak, atau usaha kecil dapat memicu kemiskinan mendadak. Dalam situasi seperti ini, anak-anak sering kali menjadi korban terselubung: mereka mungkin dipaksa untuk berhenti sekolah agar dapat bekerja membantu menopang ekonomi keluarga atau mengurus saudara yang sakit. Putus sekolah akibat tekanan ekonomi pascabencana adalah fenomena yang banyak dilaporkan namun kurang mendapat perhatian dalam respons pemulihan.
Gangguan berulang pada pendidikan memiliki efek kumulatif yang merusak. Setiap kali proses belajar terputus, anak akan tertinggal dalam kurikulum. Jika hal ini terjadi berulang kali, kesenjangan pembelajaran antara anak di daerah rawan bencana dengan anak di daerah yang lebih aman akan semakin melebar. Akibatnya, krisis iklim dapat memperparah ketimpangan pendidikan yang sudah ada dan mengurangi mobilitas sosial anak-anak dari keluarga miskin dan terdampak.
Oleh karena itu, membangun ketahanan sistem pendidikan terhadap iklim adalah sebuah keharusan. Ini termasuk membangun sekolah baru di lokasi yang lebih aman, merenovasi sekolah lama dengan standar bangunan tahan bencana, serta mengembangkan sistem pembelajaran daring hibrida yang dapat terus berjalan saat sekolah fisik tidak dapat diakses. Pelatihan guru untuk menangani trauma pascabencana pada siswa juga penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang suportif.
Melindungi pendidikan anak dari guncangan iklim sama dengan melindungi modal intelektual dan sosial bangsa. Tanpa upaya serius untuk memastikan kesinambungan belajar di tengah krisis, Indonesia berisiko kehilangan potensi dari sebagian besar generasi penerusnya. Investasi pada pendidikan yang tangguh iklim adalah investasi paling pasti untuk masa depan yang lebih cerdas, adaptif, dan berkelanjutan.