UU 41/1999 Jadi Penghalang Hukum Bagi Usulan Patungan Beli Hutan

Kamis, 11 Desember 2025

    Bagikan:
Penulis: Attar Yafiq
Wakil Ketua Komisi IV DPR merujuk pada UU 41/1999, khususnya Pasal 4 Ayat 1 yang menetapkan hutan sebagai kekayaan negara dan Pasal 50 yang melarang penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, sebagai dasar hukum penolakan mekanisme jual beli hutan. (ANTARA FOTO/Fiqman Sunandar)

Jakarta - Ketika Wakil Ketua Komisi IV DPR Alex Indra Lukman merespons usulan Pandawara Group tentang patungan membeli hutan, penegasannya sangatlah fundamental dan berdasar pada regulasi tertinggi di sektor kehutanan. "Secara aturan hutan tidak bisa diperjualbelikan," ujarnya, dengan merujuk langsung pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pernyataan ini bukan sekedar opini politik, melainkan sebuah konstatasi hukum yang merujuk pada konstruksi hukum yang telah dibangun oleh negara mengenai status dan penguasaan hutan. UU ini, yang telah berlaku lebih dari dua dekade, menjadi fondasi yang menentukan bagaimana hutan ditempatkan dalam sistem hukum nasional Indonesia, yaitu sebagai barang publik (public good) yang pengelolaannya menjadi otoritas negara.

Pasal kunci yang menjadi sandaran argumen Alex adalah Pasal 4 Ayat 1 UU 41/1999. Bunyi pasal tersebut sangat jelas dan tegas: "Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Frasa "dikuasai oleh negara" (state control) di sini memiliki makna hukum yang spesifik. Konsep penguasaan oleh negara berbeda dengan hak milik privat. Negara, dalam hal ini diwakili oleh pemerintah, memiliki kewenangan untuk mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi peruntukan, penggunaan, dan pemeliharaan hutan. Konsekuensinya, hak untuk mengalihkan kepemilikan hutan melalui transaksi jual beli—sebagaimana lazim pada hak milik—tidak melekat pada individu atau kelompok masyarakat.

Lebih lanjut, UU Kehutanan juga memuat ketentuan yang secara eksplisit membatasi aktivitas di kawasan hutan. Pasal 50 UU tersebut menyatakan, "Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan, mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak sah, serta mengerjakan, menggunakan, dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah." Larangan "menggunakan dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah" ini menjadi penghalang hukum lain bagi gagasan "membeli" hutan untuk kemudian "menggunakan" atau "mendudukinya" meskipun untuk tujuan konservasi. Aktivitas tersebut akan dianggap sah hanya jika berdasarkan perizinan yang dikeluarkan oleh otoritas negara, seperti izin usaha pemanfaatan hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan, atau pengakuan dalam skema perhutanan sosial.

Dengan konstruksi hukum seperti ini, maka usulan Pandawara Group untuk menggalang dana masyarakat dan "membeli" sebidang hutan secara kolektif menghadapi tantangan hukum yang nyaris tak teratasi. Transaksi jual beli mensyaratkan adanya objek yang dapat diperjualbelikan (barang dalam perdagangan) dan subjek hukum (pemilik) yang berwenang menjual. Dalam hal hutan, negara sebagai "penguasa" tidak menjual objek penguasaannya kepada privat. Yang ada adalah pemberian hak pengelolaan atau pemanfaatan melalui berbagai skema perizinan, yang sifatnya terbatas waktu dan kegunaannya, bukan pengalihan hak milik. Inilah inti dari penjelasan Alex Indra Lukman.

Namun, penegasan hukum ini tidak serta merta menutup pintu bagi partisipasi masyarakat. Alex sendiri menawarkan alternatif bentuk partisipasi yang sesuai hukum, seperti rehabilitasi hutan atau penyediaan teknologi pemantauan. UU Kehutanan sebenarnya juga mengakui peran serta masyarakat. Pasal 68 ayat (1) UU 41/1999 menyebutkan bahwa masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup dari hutan, mendapatkan informasi, memberi saran, serta memperoleh penggantian kerugian. Pasal 70 bahkan mengamanatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan kehutanan. Jadi, ruang untuk berkontribusi tetap ada, tetapi harus dalam bingkai yang diatur oleh undang-undang.

Respons DPR yang mengedepankan aspek legalitas ini penting untuk mencegah euphoria publik yang mungkin mengarah pada tindakan yang justru melanggar hukum. Niat baik untuk menyelamatkan hutan bisa menjadi kontraproduktif jika dilakukan dengan cara yang salah secara hukum, karena dapat berujung pada sanksi pidana sebagaimana diatur dalam bab ketentuan pidana UU tersebut. Edukasi hukum menjadi bagian penting dari gerakan lingkungan agar aktivisme tidak terjebak pada sentimentalisme semata, tetapi juga cerdas secara regulasi.

Pada akhirnya, sorotan terhadap UU 41/1999 dalam kasus respons DPR terhadap Pandawara ini mengajak semua pihak untuk berefleksi. Di satu sisi, UU tersebut dengan tegas melindungi hutan sebagai aset negara. Di sisi lain, efektivitas perlindungan itu dipertanyakan mengingat laju deforestasi yang masih tinggi. Mungkin ini saatnya untuk mendiskusikan apakah kerangka hukum yang ada sudah cukup untuk mendorong partisipasi publik yang maksimal dalam konservasi, atau perlu inovasi regulasi yang dapat mengakomodasi model-model kolaborasi baru antara negara dan masyarakat tanpa mengorbankan prinsip penguasaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

(Attar Yafiq)

Baca Juga: Banjir Rob Di Indramayu Dalam Bingkai Kerentanan Pesisir Terhadap Perubahan Iklim
Tag

    Bagikan:

Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.